Rabu, 14 Januari 2015

Makalah Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional



Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional
Makalah ini ditujukan untuk mata kuliah Politik dan Kebijakan Pendidikan Islam.
Yang diampu oleh bapak Dr. Hamdan Daulay




Disusun Oleh:
Nur Rohmah Hayati, S.Pd.I
(1320411166)


PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013

A.      Pendahuluan
Setiap agama memposisikan dirinya sebagai sebuah tatanan nilai mulia  yang menjiwai apapun yang terdapat didunia ini. Agama Akhirnya diakomodasi konstitusi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sector pendidikan. Sebagai dasar sebuah negara , undang-undang melahirkan kebijakan public atau kebijakan yang dibuat oleh negara. Kebijakan pendidikan termasuk didalam kebijakan public yang berkaitan dengan penjabaran visi dan misi pendidikan. [1]
 Dalam Undang –Undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 31 ayat 3 mengamanatkan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, dalam rangka meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka  mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang-undang.[2] Rumusan tersebut dikukuhkan dengan Tap. MPR No. II/1983 tentang GBHN yang menyatakan bahwa : Pendidikan nasional berdasarkan pancasila, bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, kecerdasan dan Ketrampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air agar dapat menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.[3] Berikut Fase-fase perkembangan hubungan antara agama dan pendidikan dapat disimpulkan seperti dibawah ini :
1.      Pendidikan di Indonesia berawal dari penyebaran agama-agama dalam bentuk pendidikan keagamaan.
2.      Datanglah model pendidikan umum yang kemudian meminggirkan peran agama dalam pendidikan. Urutannya adalah :
a.       Perkembangan disekolah umum menjadikan pembelajaran agama terdesak.
b.      Pendidikan agama pernah hilang.
c.       Pendidikan agama diperjuangkan dan tersisa dalam bentuk mata pelajaran pendidikan agama.
d.      Banyak sekolah umum memperluas makna mata pelajaran agama dengan mempraktekkan nilai-nilai religi secara integralistik. Misalnya sekolah-sekolah berciri khas agama.
3.      Dilanjutkan dengan era pengakuan penddidikan keagamaan. Persisnya setelah UU No.2/1989 dan UU sisdiknas No.20/2003. Dimulai dari pengakuan terhadap madrasah sebagai sekolah umum, dan dilanjutkan dengan pengakuan terhadap pendidikan keagamaan.[4]
 Undang-undang No.20 tahun 2003 definisi Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[5] Aspek spiritual keagamaan, kepribadian dan akhlak mulia lebih lanjut lagi diperjelas dalam undang-undang No.55 Tahun 2007 pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan ketrampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/ kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan.[6] Hal ini membuktikan bahwa pendidikan Agama tidak bisa terlepas dari pendidikan Nasional.
B.       Posisi Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional
Sistem pendidikan Nasional merupakan sarana formal dalam membentuk manusia Indonesia yang bersifat utuh yakni manusia yang bertaqwa, cerdas, terampil, berbudi luhur dan berkepribadian Indonesia. [7] Pendidikan Islam dan pendidikan nasional tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hal ini dapat ditelusuri dari 3 segi, pertama dari konsep penyusunan sistem pendidikan nasional itu sendiri, kedua dari hakikat pendidikan islam dalam kehidupan beragama kaum muslimin di Indonesia, ketiga dari segi kedudukan pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. [8]
Pancasila sebagai landasan ideologis bangsa Indonesia pada sila pertama pancasila itu sendiri ialah ketuhanan Yang Maha Esa . Dalam bingkai ideology,  pembangunan pendidikan agama dalam sistem pendidikan nasional secara jelas didudukkan dalam peraturan perundangkan yang mengatur tentang penyelenggaraaan pendidikan Indonesia.
Pada masa awal kemerdekaan pokok-pokok pendidikan yang diusulkan Badan Pekerja komite Nasional Indonesia pusat (BPKNIP) menyatakan bahwa pengajaran agama hendaklah mendapatkan tempat yang teratur dan seksama , hingga cukup mendapatkan perhatian yang semestinya dengan tidak mengurangi kemerdekaan golongan-golongan yang berkendak mengikuti kepercayaan yang dianutnya. Tentang cara melakukan ini baiknya kementrian melakukan perundingan dengan badan pekerja. Madrasah dan pesantren-pesantren pada hakikatnya adalah satu alat dan sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat dan berakar dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan bantuan yang nyata dengan berupa tuntutan dan bantuan material dari pemerintah.[9]
Selanjutnya pada masa orde lama pendidikan Agama telah dilaksanakan di Sekolah negeri melelui surat edaran ki Hajar dewantara serta penetapan bersama mentri Agama, dan mentri pendidikan, pengajaran dan kebudayaan Nomor: 1285/K.7 dan 1142/BHG.A tanggal 12 Desember 1946 yang kemudian diperbaharui dengan peraturan bersama nomor : 17678/Kab dan K/9180 tanggal 16 Juli 1951. Selanjutnya Tap MPR No II/MPRS/1966 secara tegas telah menetapkan pendidikan Agama sebagai mata pelajaran di Sekolah dasar sampai perguruan tinggi.[10] Undang-undang No.2 Tahun 1989, Bab IX pasal 39 ayat 2 dan 3 menyatakan bahwa : Ayat (2) Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat : Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan.[11]Setelah masa reformasi pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pendidikan agama yaitu dengan Undang-undang No.20 Tahun 2003 pasal 37 ayat 1 : kurikulum pendidikan dasar wajib memuat : Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan Bahasa, Matematika, IPA, IPS, seni dan Budaya, Penjas dan olahraga, Ketrampilan, Muatan Lokal. Dan ayat 2 : kurikulum Pendidikan tinggi wajib memuat : Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa.[12]
PP No 47 Tahun 2008 menyebutkan bahwa wajib belajar adalah program pendidikan minimal yang harus di diikuti oleh warga negara Indonesia atas tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah. Pendidikan dasar adalah jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, berbentuk sekolah dasar dan madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah pertama dan madrasah tsanawiyah atau bentuk lain yang sederajat.[13]Dalam PP nomor 55 Tahun 2007 pasal 2 ayat 1 memberikan pengertian bahwa pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian , serta ketrampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya , yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/ kuliah pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Pendidikan agama berfungsi membentuk manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan , hubungan inter dan antar umat beragama.[14]
PMA No.16 tahun 2010 Pasal 3 ayat 1 berbunyi setiap sekolah wajib menyelenggarakan pendidikan agama. Dan pasal 2 berbunyi setiap peserta didik berhak memperoleh pendidikan Agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.[15]
Selanjutnya dalam UU No.12 Tahun 2012 disebutkan bahwa kurikulum pendidikan tinggi, wajib memuat mata kuliah yaitu agama, pancasila, kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia.[16] Undang-undang tersebut semakin memperkuat posisi pendidikan Agama di dalam sistem pendidikan nasional. 
C.                Landasan Yuridis Pesantren
Pesantren merupakan bapak dari pendidikan Islam di Indonesia, pesantren didirikan karena tuntutan dan kebutuhan zaman. Hal ini bisa dilihat dari perjalanan sejarah, dimana bila dirunut kembali, sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran kewajiban dakwah islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam. Sekaligus mencetak kader-kader ulama atau da’i.[17] Dasar yuridis pesantren yang paling prinsipil adalah hak asasi warga negara Indonesia sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 pasal 29 ayat (1) dan ayat (2), undang-undang tersebut didukung dengan ketentuan pemerintah :
a.         Pengumuman BKNIP tanggal 22 desember 1945 No. 15( berita RI Tahun II No. 4 dan 5 halaman 20 kolom 1) antara lain menyatakan agar dalam usaha memajukan pendidikan dan pengajaran  sekurang-kurangnya diusahakan agar pendidikan di langgar-langgar dan madrasah-madrasah berjalan terus dan diperpesat.
b.        Keputusan BPKNIP  tanggal 27 Desember 1945 menetapkan perlunya madrasah-madrasah mendapat perhatian dan bantuan pemerintah.
c.         Panitia penyidik pendidikan dan pengajaran di Indonesia yang dibentuk oleh mentri P dan K pertama yaitu Mr. Suwandi Tahun 1946 yang diketuai ki hajar dewantara menetapkan bahwa madrasah dan pondok pesantren perlu di berikan bantuan.
d.        Pada tanggal 3 januari 1946 didirikan kementrian Agama dimana dibentuk pula bagian pengajaran yang meliputi sekolah umum dan perguruan Agama.[18]
Tugas fungsional pembinaannya serta pengarahannya adalah dilaksanakan oleh mentri agama berserta perangkatnya lebih lanjut dengan keppres No. 44 dan No.45 Tahun 1974, tentang organisasi serta tata kerja dan Tugas pokok dan fungsi departemen-departemen. Pelaksanaan Keppres tersebut telah dituangkan dalam keputusan mentri Agama No.18 Tahun 1975 dengan penyempurnaan-penyempurnaannya, juga sesuai dengan Keppres No. 30 Tahun 1978, yang pelaksannannya daitur dalam keputusan mentri agama No.6 Tahun 1979.[19] Selanjutnya dalam PP No.73 Tahun 1991, BAB III pasal (3) ayat 1 menyebutkan jenis pendidikan luar sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan keagamaan, pendidikan jabatan kerja, pendidikan ke dinasan dan pendidikan kejuruan.[20]
Kurikulum dalam pesantren sampai awal abad ke 20 belum digunakan. Dengan kata lain, sistem pembelajaran lebih ditekankan pada pemahaman kitab secara apa adanya, dan memberikan pembedaan arahan pembelajaran dan pendidikan hanya didasarkan pada kategorisasi perbedaan kitab semata. [21] sebelumnya santri santri yang hanya memperdalam ilmu agama di pesantren banyak menghadapu kesulitan untuk melanjutkan pendidikan dan di lapangan kerja karena mereka tidak menguasai ketrampilan atau pengetahuan umum. Bahkan tidak juga ijazah atau paling tidak bukti bahwa mereka mempunyai kemampuan menjadi guru Agama.[22]
Sebelum UU sisdiknas 2003 pendidikan keagamaan belum diakui sederajat dengan pendidikan formal lain, yang diakui baru madrasah, yaitu : melalui UUSPN No.2 1989 dan madrasah diklasifikasikan menjadi pendidikan umum berciri khas Islam. Pada UU sisdiknas 2003 pendidikan keagamaan berdiri sendiri menjadi salah satu jenis pendidikan yang kemudian diakui negara sedrajat dengan jenis pendidikan madrasah dan sekolah. Berikut bagan  tentang kesetaraan pendidikan sekolah, madrasah, dan pendidikan Agama versi UU sisdiknas Tahun 2003. 
Pemerintah melalui UU sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 mengistilahkan penyeragaman terhadap hal-hal tertentu tersebut sebagi standarisasi Nasional pendidikan (SNP) . SNP dapat digunakan untuk mempertemukan tradisi pendidikan yang berkembang di masyarakat dengan kebijakan negara melalui deal-deal  yang bisa disepakati. Aturan standarisasi  pendidikan kemudian dituangkan secara lebih rinci dalam PP Nomor 19 Tahun 2004. Dengan aturan baru ini, semua jenis pendidikan yang selama ini tidak diakui persamaannya dengan pendidikan umum formal, dapat diakui sepanjang persyaratan standar minimal dipenuhi.[23]
Sebelum UU sisdiknas Tahun 2003, pemerintah melalui KHA Wahid Hasyim selaku mentri Agama, sebelumnya beliau melakukan pembaharuan Pendidikan Agama Islam melalui Peraturan Menteri Agama No.3 Tahun 1950.  Yang menginstruksikan pemberian pembelajaran Umum di Madrasah dan sekolah-sekolah umum. Persaingan dengan madrasah modern membuat pesantren berramai-ramai mengadopsi madrasah ke dalam pesantren. Lebih dari itu pesantren semakin membuka kelembagaannya dan fasilitas-fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum. Pesantren Tebuireng adalah pesantren pertama yang mendirikan SMP dan SMA.[24]
Tahun 2013 Pesantren dapat mengikuti kesetaraaan pendidikan dengan standar Nasional pendidikan PP RI No.32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional Pendidikan, pemerintah menugaskan BSNP untuk menyelenggarakan Ujian Nasional yang di ikuti peserta didik pada setiap satuan pendidikan jalur formal pendidikan dasar dan menengah, dan jalur non formal kesetaraan. Peserta didik pendidikan Informal dapat mengikuti ujian nasional setelah memenuhi syarat yang ditetapkan oleh BSNP.[25] Sehingga para peserta didik dilingkungan pesantren dapat menyetarakan dirinya dengan pendidikan nasional.
Permendiknas No.21 Tahun 2011. Program paket A/ula adalah pendidikan dasar 6 tahun pada jalur pendidikan Non formal termasuk pondok pesantren salafiyah. Program Paket B/ wustha adalah pendidikan dasar 3 tahun pada jalur pendidikan Non formal pondok pesantren salafiyah.[26]
D.                Landasan Yuridis madrasah
Pada awal abad ke-20 sistem pendidikan model madrasah bermunculan,  kemunculan dan kelahirannya bersifat sintesis-adaptif dari pendidikan colonial (1) sebagai salah satu bentuk pengembangan dari pesantren. (2) madrasah lahir dari luar pesantren. [27]Pada Landasan perundangan bagi penyelenggara pendidikan dinegara kita adalah Undang-undang pendidikan No.4 Tahun 1950 jo. No. 12 Tahun 1954 yang diganti dengan UU No.2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan Nasional. Dalam pasal 13 dinyatakan bahwa atas dasar kebebasan tiap-tiap warga negara menganut sesuatu agama atau keyakinan hidup, maka kesempurnaan leluasa diberikan untuk mendirikan dan menyelenggarakan sekolah-sekolah partikelir ditetapkan dalam undang-undang(ayat 2).[28]
Pada Tahun 1972 pemerintah mengeluarkan KEPPRES No.34 Tahun 1972 tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan. Isi keputusan ini pada intinya menyangkut 3 hal ; (1) mentri pendidikan dan kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan. (2) mentri tenaga kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan latihan keahlian dan kejuruan tenaga bukan pegawai negeri. (3) ketua lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.[29]
Sebelum Tahun 1975 madrasah dan sekolah-sekolah keagamaan belum mendapatkn landasaran yuridis yang mantap baru sejak tanggal 24 mei 1975 madrasah baru memperoleh landasan yuridis yang agak mantap yaitu dengan  keputusan bersama Tiga Mentri : Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan kebudayaan, mentri dalam negeri. No. 6 Tahun 1975, No.037/U/1975, dan No. 36 Tahun 1975. Serta  UU No. 2 Tahun 1989 kedudukan lembaga pendidikan agama diperkukuh( Pasal 11 ayat 16).[30]
SKB tiga menteri tersebut bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar tingkat pelajaran umum dari madrasah mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum disekolah umum yg setingkat, sehingga : ijazah madrasah sama dengan ijazah sekolah umum, lulusan madrasah dapat melanjutkan disekolah umum, siswa madrasah dapat berpindah disekolah umum.[31]
Dari segi manfaat ada beberapa catatan penyelenggaraan madrasah dengan pola SKB 3 mentri ini, antara lain:
a.       Gengsi madrasah menjadi naik. Dengan SKB 3 mentri tersebut ijazah madrasah diakui bukan hanya oleh departemen agama, tetapi juga oleh instansi lain.
b.      Setelah adanya SKB perkembangan madrasah cukup menggembirakan, meskipun dari segi mutu masih banyak yang memprihatinkan.
c.       Kecenderungan yang kuat dirasakan setelah adanya SKB tersebut adalah adanya keinginan anak-anak madrasah untuk mobilitas ke sekolah-sekolah umum. Hal ini dapat dilihat dari Animo siswa mengikuti Ebtanas depdikbud.
Dalam rangka melaksanakan SKB 3 mentri pemerintah mengupayakan hal-hal sebagai berikut : (1) melakukan pembakuan kurikulum madrasah dalam keputusan mentri Agama No. 73 Tahun 1976 untuk tingkat MI, No. 74 Tahun 1976 untuk MTs, no 75 Tahun 1976 untuk tingkat MA.(2) Memberikan legalitas yuridis untuk mempersamakan tingkat/derajad madrasah dengan sekolah umum, masing-masing dituangkan dalam keputusan Mentri Agama No.70 Tahun 1976 dan No. 5 Tahun 1977. (3)  dan restrukturisasi madrasah dengan Keputusan Mentri Agama No.15 Tahun 1976 untuk Mi, dan No.16 tahun 1976 untuk MTsN dan No. 17 tahun 1976 untuk MAN.[32]
Perjuangan agar mendapatkan perlakuan yang sama baru dicapai dalam UUSPN  No.2 Tahun 1989.  Dimana madrasah dianggap sekolah umum berciri khas Islam dan kurikulum madrasah sama persis dengan kurikulum sekolah hanya plus pelajaran Agama Islam. Secara operasional integrasi madrasah ke dalam sistem Pendidikan nasional dikuatkan dengan PP. No. 28 Tahun 1990 dan SK mendiknas No.  0487/U/1992 dan No. 054/U/1993 yang antara lain menetapkan bahwa MI/MTs wajib memberikan bahan kajian sekurang-kurangnya sama dengan SD/SMP. Kemudian surat-surat keputusan itu ditindak lanjuti dengan SK Mentri Agama No. 368 dan 389 Tahun 1993 tentang penyelenggaraan MI/MTs. Sementara tentang MA diperkuat dengan PP No. 29 Tahun 1990, SK mendiknas Nomor 0489/U/ 1992(MA sebagai SMA berciri khas Islam) dan SK Menag No.370 Tahun 1993.[33]
Madrasah pasca UU sisdiknas 2003 dapat dikatakan telah membuat madrasah terintegrasi ke dalam sistem pendidikan Nasional, hal ini dapat diuraikan ; pertama, pendidikan nasional menjadikan pendidikan agama sebagai salah satu muatan wajib dalam semua jalur dan jenis pendidikan. Kedua, dalam sistem pendidikan nasional, madrasah dengan sendirinya dimasukkan dalam kategori jalur sekolah. Ketiga, meskipun madrasah diberi status pendidikan jalur sekolah, tetapi sesuai dengan jenis keagamaan dalam sistem pendidikan nasional, madrasah memiliki jurusan khusus ilmu-ilmu syariah. Pada jurusan ini, 70% muatan kurikulummnya adalah bidang-bidang agama.[34]
Integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan Nasional bukan merupakan inegrasi dalam arti penyelenggaraaan dan pengelolaan pendidikan, termasuk madrasah oleh Departemen Pendidikan Nasional, tetapi lenih pada pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan kepada departemen Agama(UU sisdiknas, pasal 50).[35]
PMA No.90 Tahun 2013 menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan Madrasah adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan pada raudhatul Athfal, masdrasah ibtidaiyah, Madrasah tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Dan Madrasah Aliyah Kejuruan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan tujuan pendidikan nasional. Dan pendirian madrasah yang dilakukan oleh pemerintah wajib memenuhi standar nasional pendidikan.[36]
E.       Kesimpulan.
1.      Tap MPR No II/MPRS/1966 secara tegas telah menetapkan pendidikan Agama sebagai mata pelajaran di Sekolah dasar sampai perguruan tinggi. PMA No.16 tahun 2010 Pasal 3 ayat 1 berbunyi setiap sekolah wajib menyelenggarakan pendidikan agama. Dan pasal 2 berbunyi setiap peserta didik berhak memperoleh pendidikan Agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.
2.      UUSPN No.2 1989 dan madrasah diklasifikasikan menjadi pendidikan umum berciri khas Islam. Pada UU sisdiknas 2003 pendidikan keagamaan berdiri sendiri menjadi salah satu jenis pendidikan yang kemudian diakui negara sedrajat dengan jenis pendidikan madrasah dan sekolah
keputusan bersama Tiga Mentri : Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan kebudayaan, mentri dalam negeri. No. 6 Tahun 1975, No.037/U/1975, dan No. 36 Tahun 1975. Serta  UU No. 2 Tahun 1989 kedudukan lembaga pendidikan agama diperkukuh( Pasal 11 ayat 16). SKB tiga menteri tersebut bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah agar tingkat pelajaran umum dari madrasah mencapai tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum disekolah umum yg setingkat, sehingga : ijazah madrasah sama dengan ijazah sekolah umum, lulusan madrasah dapat melanjutkan disekolah umum, siswa madrasah dapat berpindah disekolah umum.




DAFTAR PUSTAKA
Amir, Faisal Jusuf. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Arifin, Muzayyin. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta:  Bumi Aksara, 2007.
Assegaf, Abdur Rahman. Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta : Suka press, 2007.
Bakar, Usman Abu. Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam. Yogyakarta : Maguwoharjo, 2005.
Daulay, Putra Haidar, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007.
Fathoni Kholid. Pendidikan Islam dan pendidikan Nasional. Jakarta : Depag RI, 2005.
Gunawan, Ary H. Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara, 1986.
Haedari, Amin. Pendidikan Agama di Indonesia. Jakarta : Puslitbang Pendidikan Agama RI, 2010.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Suhartini, Andewi, Sejarah pendidikan Islam, Jakarta: Depag RI, 2009.
Syukur, Fatah, Sejarah Pendidikan Indonesia. Jakarta : Pustaka Rizki Putra, 2012.
Tilaar HAR. Kebijakan Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka pelajar, 2009.
Wahab, Rochidin. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung : Alfabeta, 2004.
http://pendis.kemenag.go.id
http://e-dokumen.kemenag.go.id
http://akhmadsudrajat.files.wordpress.com
Mulyasa, Pengembangan Implementasi Kurikulum 2013. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2013.
Fattah, Nanang, Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013.
Riau.Kemenag.go.id










[1] H.A.R Tilaar, Kebijakan pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hal. 264
[2]UUD’ RI 1945
[3] Zuhairini, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta : Direktorat Jendral Pendidikan Kelembagaan Agama Islam, 1986), hal.237.
[4] Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional, ( Jakarta :  DEPAG RI, 2005), hal.112-113.
[5] UU No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1
[6] UU No.55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan pendidikan keagamaan. Pasal 1 ayat 1.
[7] Abdur Rahman Asegaf, pendidikan Islam di Indoonesia, ( Yogyakarta : Suka Press, 2007), hal.134.
[8] Andewi Suhartini, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta : Depag RI, 2009), hal. 191.
 [9] Ari H Gunawan, Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia, ( Jakarta : Bina Aksara, 1986),  hal.33.
[10] Amin Haedari, Pendidikan Agama di Indonesia, ( Jakarta : Badan litbang dan diklat Kementrian Agama RI, 2010 ), hal. v.
[11] Andewi Suhartini, Sejarah Pendidikan Islam…, hal.195
[12] Ibid,.Hal.196
                [13]  PP No 47 Tahun 2008 pasal 1,  ayat 1 dan2
[14] Amin Haedari, Pendidikan Agama di Indonesia…, hal.ix.
[15] PMA No.16 Tahun 2010 pasal , ayat 1.
                [16] UU No.12 Tahun 2012 Pasal 35, ayat 2
[17] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001), hal.18.
[18] Muzayyin Arifin, Kapita Selekta pendidikan Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2003 ), hal.226.
[19] Muzayyin Arifin, Kapita Selekta pendidikan Islam…, hal.226.
[20] Haidar Putra daulay, Sejarah Pertumbuhan dan pembaruan pendidikan di Indonesia, (Jakarta:  Kencana prenada group, 2007), hal.164.
[21] Abdur Rahman Asegaf, pendidikan Islam di Indoonesia…, hal. 91

[23] Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional…, hal.6.
[24] Hanun, Asroha,  Sejarah pendidikan Islam, ( Jakarta : LOGOS wacana ilmu, 1999),
                [25] PP RI No.32 Tahun 2013 pasal 67 ayat 1 dan Pasal 69 ayat 3.
                [26] Permendiknas No 21 Tahun 2011 Pasal 1 ayat 1, 2, dan 3.
[27] Abdur Rahman Asegaf, pendidikan Islam di Indoonesia…, hal.92.
[28] Muzayyin Arifin, Kapita Selekta pendidikan Islam…, hal.220-221.
[29] Fatah Syukur,. Sejarah Pendidikan Islam( Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2012), hal. 150-151
[30]Ibid., hal.221.
[31] Muzayyin Arifin, Kapita Selekta pendidikan Islam…, hal.221.
[32] Ibid., hal 222-223.
[33] Muhammad Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional…, hal. 65.
[34] Fatah Syukur,. Sejarah Pendidikan Islam…, hal.160
[35] Ibid.
                [36] PMA No.90 Tahun 2013 pasal 1 ayat 1 dan pasal  9 ayat 1.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar