Pendidikan Islam dalam
Sistem Pendidikan Nasional
Makalah ini ditujukan untuk mata kuliah Politik dan Kebijakan Pendidikan
Islam.
Yang diampu oleh bapak Dr. Hamdan Daulay
Disusun Oleh:
Nur Rohmah Hayati, S.Pd.I
(1320411166)
PROGRAM MAGISTER PENDIDIKAN ISLAM
KONSENTRASI PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2013
A.
Pendahuluan
Setiap agama memposisikan dirinya sebagai sebuah tatanan nilai
mulia yang menjiwai apapun yang terdapat
didunia ini. Agama Akhirnya diakomodasi konstitusi sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari sector pendidikan. Sebagai dasar sebuah negara , undang-undang
melahirkan kebijakan public atau kebijakan yang dibuat oleh negara. Kebijakan
pendidikan termasuk didalam kebijakan public yang berkaitan dengan penjabaran
visi dan misi pendidikan. [1]
Dalam Undang –Undang dasar
Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 31 ayat 3 mengamanatkan bahwa pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, dalam rangka meningkatkan
keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur
dengan undang-undang.[2] Rumusan tersebut dikukuhkan dengan Tap. MPR No. II/1983 tentang
GBHN yang menyatakan bahwa : Pendidikan nasional berdasarkan pancasila, bertujuan
untuk meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, kecerdasan dan
Ketrampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian, dan mempertebal
semangat kebangsaan dan cinta tanah air agar dapat menumbuhkan manusia-manusia
pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung
jawab atas pembangunan bangsa.[3] Berikut
Fase-fase perkembangan hubungan antara agama dan pendidikan dapat disimpulkan
seperti dibawah ini :
1.
Pendidikan
di Indonesia berawal dari penyebaran agama-agama dalam bentuk pendidikan
keagamaan.
2.
Datanglah
model pendidikan umum yang kemudian meminggirkan peran agama dalam pendidikan.
Urutannya adalah :
a.
Perkembangan
disekolah umum menjadikan pembelajaran agama terdesak.
b.
Pendidikan
agama pernah hilang.
c.
Pendidikan
agama diperjuangkan dan tersisa dalam bentuk mata pelajaran pendidikan agama.
d.
Banyak
sekolah umum memperluas makna mata pelajaran agama dengan mempraktekkan
nilai-nilai religi secara integralistik. Misalnya sekolah-sekolah berciri khas
agama.
3.
Dilanjutkan
dengan era pengakuan penddidikan keagamaan. Persisnya setelah UU No.2/1989 dan
UU sisdiknas No.20/2003. Dimulai dari pengakuan terhadap madrasah sebagai
sekolah umum, dan dilanjutkan dengan pengakuan terhadap pendidikan keagamaan.[4]
Undang-undang No.20 tahun
2003 definisi Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[5] Aspek
spiritual keagamaan, kepribadian dan akhlak mulia lebih lanjut lagi diperjelas
dalam undang-undang No.55 Tahun 2007 pendidikan agama adalah pendidikan yang
memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan ketrampilan
peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan
sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/ kuliah pada semua jalur, jenjang,
dan jenis pendidikan.[6] Hal
ini membuktikan bahwa pendidikan Agama tidak bisa terlepas dari pendidikan
Nasional.
B.
Posisi Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional
Sistem pendidikan Nasional merupakan sarana formal dalam membentuk
manusia Indonesia yang bersifat utuh yakni manusia yang bertaqwa, cerdas,
terampil, berbudi luhur dan berkepribadian Indonesia. [7] Pendidikan
Islam dan pendidikan nasional tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Hal ini
dapat ditelusuri dari 3 segi, pertama dari konsep penyusunan sistem
pendidikan nasional itu sendiri, kedua dari hakikat pendidikan islam
dalam kehidupan beragama kaum muslimin di Indonesia, ketiga dari segi
kedudukan pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional. [8]
Pancasila sebagai landasan ideologis bangsa Indonesia pada sila pertama
pancasila itu sendiri ialah ketuhanan Yang Maha Esa . Dalam bingkai ideology, pembangunan pendidikan agama dalam sistem
pendidikan nasional secara jelas didudukkan dalam peraturan perundangkan yang
mengatur tentang penyelenggaraaan pendidikan Indonesia.
Pada masa awal kemerdekaan pokok-pokok pendidikan yang diusulkan Badan
Pekerja komite Nasional Indonesia pusat (BPKNIP) menyatakan bahwa pengajaran
agama hendaklah mendapatkan tempat yang teratur dan seksama , hingga cukup
mendapatkan perhatian yang semestinya dengan tidak mengurangi kemerdekaan
golongan-golongan yang berkendak mengikuti kepercayaan yang dianutnya. Tentang
cara melakukan ini baiknya kementrian melakukan perundingan dengan badan
pekerja. Madrasah dan pesantren-pesantren pada hakikatnya adalah satu alat dan
sumber pendidikan dan pencerdasan rakyat jelata yang sudah berurat dan berakar
dalam masyarakat Indonesia umumnya, hendaklah pula mendapat perhatian dan
bantuan yang nyata dengan berupa tuntutan dan bantuan material dari pemerintah.[9]
Selanjutnya pada masa orde lama pendidikan Agama telah dilaksanakan
di Sekolah negeri melelui surat edaran ki Hajar dewantara serta penetapan
bersama mentri Agama, dan mentri pendidikan, pengajaran dan kebudayaan Nomor:
1285/K.7 dan 1142/BHG.A tanggal 12 Desember 1946 yang kemudian diperbaharui dengan
peraturan bersama nomor : 17678/Kab dan K/9180 tanggal 16 Juli 1951.
Selanjutnya Tap MPR No II/MPRS/1966 secara tegas telah menetapkan pendidikan
Agama sebagai mata pelajaran di Sekolah dasar sampai perguruan tinggi.[10]
Undang-undang No.2 Tahun 1989, Bab IX pasal 39 ayat 2 dan 3 menyatakan bahwa :
Ayat (2) Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat
: Pendidikan Pancasila, Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan.[11]Setelah
masa reformasi pemerintah mengeluarkan peraturan tentang pendidikan agama yaitu
dengan Undang-undang No.20 Tahun 2003 pasal 37 ayat 1 : kurikulum pendidikan
dasar wajib memuat : Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Pendidikan
Bahasa, Matematika, IPA, IPS, seni dan Budaya, Penjas dan olahraga,
Ketrampilan, Muatan Lokal. Dan ayat 2 : kurikulum Pendidikan tinggi wajib
memuat : Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa.[12]
PP No 47 Tahun 2008 menyebutkan bahwa wajib belajar adalah program
pendidikan minimal yang harus di diikuti oleh warga negara Indonesia atas
tanggungjawab pemerintah dan pemerintah daerah. Pendidikan dasar adalah jenjang
pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah, berbentuk sekolah dasar
dan madrasah Ibtidaiyah atau bentuk lain yang sederajat serta sekolah menengah
pertama dan madrasah tsanawiyah atau bentuk lain yang sederajat.[13]Dalam
PP nomor 55 Tahun 2007 pasal 2 ayat 1 memberikan pengertian bahwa pendidikan
agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap,
kepribadian , serta ketrampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya
, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/ kuliah pada
semua jalur, jenjang dan jenis pendidikan. Pendidikan agama berfungsi membentuk
manusia Indonesia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta
berakhlak mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan , hubungan inter dan
antar umat beragama.[14]
PMA No.16 tahun 2010 Pasal 3 ayat 1 berbunyi setiap sekolah wajib
menyelenggarakan pendidikan agama. Dan pasal 2 berbunyi setiap peserta didik
berhak memperoleh pendidikan Agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan
diajarkan oleh pendidik yang seagama.[15]
Selanjutnya dalam UU No.12 Tahun 2012 disebutkan bahwa kurikulum
pendidikan tinggi, wajib memuat mata kuliah yaitu agama, pancasila,
kewarganegaraan, dan bahasa Indonesia.[16]
Undang-undang tersebut semakin memperkuat posisi pendidikan Agama di dalam
sistem pendidikan nasional.
C.
Landasan Yuridis Pesantren
Pesantren
merupakan bapak dari pendidikan Islam di Indonesia, pesantren didirikan karena
tuntutan dan kebutuhan zaman. Hal ini bisa dilihat dari perjalanan sejarah,
dimana bila dirunut kembali, sesungguhnya pesantren dilahirkan atas kesadaran
kewajiban dakwah islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam.
Sekaligus mencetak kader-kader ulama atau da’i.[17] Dasar
yuridis pesantren yang paling prinsipil adalah hak asasi warga negara Indonesia
sebagaimana dijamin dalam UUD 1945 pasal 29 ayat (1) dan ayat (2),
undang-undang tersebut didukung dengan ketentuan pemerintah :
a.
Pengumuman
BKNIP tanggal 22 desember 1945 No. 15( berita RI Tahun II No. 4 dan 5 halaman
20 kolom 1) antara lain menyatakan agar dalam usaha memajukan pendidikan dan
pengajaran sekurang-kurangnya diusahakan
agar pendidikan di langgar-langgar dan madrasah-madrasah berjalan terus dan
diperpesat.
b.
Keputusan
BPKNIP tanggal 27 Desember 1945
menetapkan perlunya madrasah-madrasah mendapat perhatian dan bantuan
pemerintah.
c.
Panitia
penyidik pendidikan dan pengajaran di Indonesia yang dibentuk oleh mentri P dan
K pertama yaitu Mr. Suwandi Tahun 1946 yang diketuai ki hajar dewantara
menetapkan bahwa madrasah dan pondok pesantren perlu di berikan bantuan.
d.
Pada
tanggal 3 januari 1946 didirikan kementrian Agama dimana dibentuk pula bagian
pengajaran yang meliputi sekolah umum dan perguruan Agama.[18]
Tugas fungsional pembinaannya serta pengarahannya adalah
dilaksanakan oleh mentri agama berserta perangkatnya lebih lanjut dengan
keppres No. 44 dan No.45 Tahun 1974, tentang organisasi serta tata kerja dan
Tugas pokok dan fungsi departemen-departemen. Pelaksanaan Keppres tersebut
telah dituangkan dalam keputusan mentri Agama No.18 Tahun 1975 dengan
penyempurnaan-penyempurnaannya, juga sesuai dengan Keppres No. 30 Tahun 1978,
yang pelaksannannya daitur dalam keputusan mentri agama No.6 Tahun 1979.[19]
Selanjutnya dalam PP No.73 Tahun 1991, BAB III pasal (3) ayat 1 menyebutkan
jenis pendidikan luar sekolah terdiri atas pendidikan umum, pendidikan
keagamaan, pendidikan jabatan kerja, pendidikan ke dinasan dan pendidikan
kejuruan.[20]
Kurikulum dalam pesantren sampai awal abad ke 20 belum digunakan.
Dengan kata lain, sistem pembelajaran lebih ditekankan pada pemahaman kitab
secara apa adanya, dan memberikan pembedaan arahan pembelajaran dan pendidikan
hanya didasarkan pada kategorisasi perbedaan kitab semata. [21] sebelumnya
santri santri yang hanya memperdalam ilmu agama di pesantren banyak menghadapu
kesulitan untuk melanjutkan pendidikan dan di lapangan kerja karena mereka
tidak menguasai ketrampilan atau pengetahuan umum. Bahkan tidak juga ijazah
atau paling tidak bukti bahwa mereka mempunyai kemampuan menjadi guru Agama.[22]
Sebelum UU sisdiknas 2003 pendidikan keagamaan belum diakui
sederajat dengan pendidikan formal lain, yang diakui baru madrasah, yaitu :
melalui UUSPN No.2 1989 dan madrasah diklasifikasikan menjadi pendidikan umum
berciri khas Islam. Pada UU sisdiknas 2003 pendidikan keagamaan berdiri sendiri
menjadi salah satu jenis pendidikan yang kemudian diakui negara sedrajat dengan
jenis pendidikan madrasah dan sekolah. Berikut bagan tentang kesetaraan pendidikan sekolah,
madrasah, dan pendidikan Agama versi UU sisdiknas Tahun 2003.
Pemerintah melalui UU sisdiknas Nomor 20 tahun 2003 mengistilahkan
penyeragaman terhadap hal-hal tertentu tersebut sebagi standarisasi Nasional pendidikan
(SNP) . SNP dapat digunakan untuk mempertemukan tradisi pendidikan yang
berkembang di masyarakat dengan kebijakan negara melalui deal-deal yang bisa disepakati. Aturan
standarisasi pendidikan kemudian
dituangkan secara lebih rinci dalam PP Nomor 19 Tahun 2004. Dengan aturan baru
ini, semua jenis pendidikan yang selama ini tidak diakui persamaannya dengan
pendidikan umum formal, dapat diakui sepanjang persyaratan standar minimal
dipenuhi.[23]
Sebelum UU sisdiknas Tahun 2003, pemerintah melalui KHA Wahid
Hasyim selaku mentri Agama, sebelumnya beliau melakukan pembaharuan Pendidikan
Agama Islam melalui Peraturan Menteri Agama No.3 Tahun 1950. Yang menginstruksikan pemberian pembelajaran
Umum di Madrasah dan sekolah-sekolah umum. Persaingan dengan madrasah modern
membuat pesantren berramai-ramai mengadopsi madrasah ke dalam pesantren. Lebih
dari itu pesantren semakin membuka kelembagaannya dan fasilitas-fasilitas
pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum. Pesantren Tebuireng adalah
pesantren pertama yang mendirikan SMP dan SMA.[24]
Tahun 2013 Pesantren dapat mengikuti kesetaraaan pendidikan dengan
standar Nasional pendidikan PP RI No.32 Tahun 2013 tentang Standar Nasional
Pendidikan, pemerintah menugaskan BSNP untuk menyelenggarakan Ujian Nasional
yang di ikuti peserta didik pada setiap satuan pendidikan jalur formal pendidikan
dasar dan menengah, dan jalur non formal kesetaraan. Peserta didik pendidikan
Informal dapat mengikuti ujian nasional setelah memenuhi syarat yang ditetapkan
oleh BSNP.[25]
Sehingga para peserta didik dilingkungan pesantren dapat menyetarakan dirinya
dengan pendidikan nasional.
Permendiknas No.21 Tahun 2011. Program paket A/ula adalah
pendidikan dasar 6 tahun pada jalur pendidikan Non formal termasuk pondok
pesantren salafiyah. Program Paket B/ wustha adalah pendidikan dasar 3 tahun
pada jalur pendidikan Non formal pondok pesantren salafiyah.[26]
D.
Landasan Yuridis madrasah
Pada awal abad ke-20 sistem pendidikan model madrasah
bermunculan, kemunculan dan kelahirannya
bersifat sintesis-adaptif dari pendidikan colonial (1) sebagai salah satu
bentuk pengembangan dari pesantren. (2) madrasah lahir dari luar pesantren. [27]Pada
Landasan perundangan bagi penyelenggara pendidikan dinegara kita adalah
Undang-undang pendidikan No.4 Tahun 1950 jo. No. 12 Tahun 1954 yang diganti
dengan UU No.2 Tahun 1989 tentang sistem pendidikan Nasional. Dalam pasal 13
dinyatakan bahwa atas dasar kebebasan tiap-tiap warga negara menganut sesuatu
agama atau keyakinan hidup, maka kesempurnaan leluasa diberikan untuk
mendirikan dan menyelenggarakan sekolah-sekolah partikelir ditetapkan dalam
undang-undang(ayat 2).[28]
Pada Tahun 1972 pemerintah mengeluarkan KEPPRES No.34 Tahun 1972
tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan. Isi keputusan ini
pada intinya menyangkut 3 hal ; (1) mentri pendidikan dan kebudayaan bertugas
dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan. (2) mentri tenaga
kerja bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan latihan keahlian dan
kejuruan tenaga bukan pegawai negeri. (3) ketua lembaga Administrasi Negara
bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus
untuk pegawai negeri.[29]
Sebelum Tahun 1975 madrasah dan sekolah-sekolah keagamaan belum
mendapatkn landasaran yuridis yang mantap baru sejak tanggal 24 mei 1975
madrasah baru memperoleh landasan yuridis yang agak mantap yaitu dengan keputusan bersama Tiga Mentri : Menteri
Agama, Menteri Pendidikan dan kebudayaan, mentri dalam negeri. No. 6 Tahun
1975, No.037/U/1975, dan No. 36 Tahun 1975. Serta UU No. 2 Tahun 1989 kedudukan lembaga
pendidikan agama diperkukuh( Pasal 11 ayat 16).[30]
SKB tiga menteri tersebut bertujuan untuk meningkatkan mutu
pendidikan pada madrasah agar tingkat pelajaran umum dari madrasah mencapai
tingkat yang sama dengan tingkat mata pelajaran umum disekolah umum yg
setingkat, sehingga : ijazah madrasah sama dengan ijazah sekolah umum, lulusan
madrasah dapat melanjutkan disekolah umum, siswa madrasah dapat berpindah
disekolah umum.[31]
Dari segi manfaat ada beberapa catatan penyelenggaraan madrasah
dengan pola SKB 3 mentri ini, antara lain:
a.
Gengsi
madrasah menjadi naik. Dengan SKB 3 mentri tersebut ijazah madrasah diakui
bukan hanya oleh departemen agama, tetapi juga oleh instansi lain.
b.
Setelah
adanya SKB perkembangan madrasah cukup menggembirakan, meskipun dari segi mutu
masih banyak yang memprihatinkan.
c.
Kecenderungan
yang kuat dirasakan setelah adanya SKB tersebut adalah adanya keinginan
anak-anak madrasah untuk mobilitas ke sekolah-sekolah umum. Hal ini dapat
dilihat dari Animo siswa mengikuti Ebtanas depdikbud.
Dalam rangka melaksanakan SKB 3 mentri pemerintah mengupayakan
hal-hal sebagai berikut : (1) melakukan pembakuan kurikulum madrasah dalam
keputusan mentri Agama No. 73 Tahun 1976 untuk tingkat MI, No. 74 Tahun 1976
untuk MTs, no 75 Tahun 1976 untuk tingkat MA.(2) Memberikan legalitas yuridis
untuk mempersamakan tingkat/derajad madrasah dengan sekolah umum, masing-masing
dituangkan dalam keputusan Mentri Agama No.70 Tahun 1976 dan No. 5 Tahun 1977.
(3) dan restrukturisasi madrasah dengan
Keputusan Mentri Agama No.15 Tahun 1976 untuk Mi, dan No.16 tahun 1976 untuk
MTsN dan No. 17 tahun 1976 untuk MAN.[32]
Perjuangan agar mendapatkan perlakuan yang sama baru dicapai dalam
UUSPN No.2 Tahun 1989. Dimana madrasah dianggap sekolah umum berciri
khas Islam dan kurikulum madrasah sama persis dengan kurikulum sekolah hanya
plus pelajaran Agama Islam. Secara operasional integrasi madrasah ke dalam
sistem Pendidikan nasional dikuatkan dengan PP. No. 28 Tahun 1990 dan SK
mendiknas No. 0487/U/1992 dan No.
054/U/1993 yang antara lain menetapkan bahwa MI/MTs wajib memberikan bahan
kajian sekurang-kurangnya sama dengan SD/SMP. Kemudian surat-surat keputusan
itu ditindak lanjuti dengan SK Mentri Agama No. 368 dan 389 Tahun 1993 tentang
penyelenggaraan MI/MTs. Sementara tentang MA diperkuat dengan PP No. 29 Tahun
1990, SK mendiknas Nomor 0489/U/ 1992(MA sebagai SMA berciri khas Islam) dan SK
Menag No.370 Tahun 1993.[33]
Madrasah pasca UU sisdiknas 2003 dapat dikatakan telah membuat
madrasah terintegrasi ke dalam sistem pendidikan Nasional, hal ini dapat
diuraikan ; pertama, pendidikan nasional menjadikan pendidikan agama sebagai
salah satu muatan wajib dalam semua jalur dan jenis pendidikan. Kedua, dalam
sistem pendidikan nasional, madrasah dengan sendirinya dimasukkan dalam
kategori jalur sekolah. Ketiga, meskipun madrasah diberi status pendidikan
jalur sekolah, tetapi sesuai dengan jenis keagamaan dalam sistem pendidikan
nasional, madrasah memiliki jurusan khusus ilmu-ilmu syariah. Pada jurusan ini,
70% muatan kurikulummnya adalah bidang-bidang agama.[34]
Integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan Nasional bukan
merupakan inegrasi dalam arti penyelenggaraaan dan pengelolaan pendidikan,
termasuk madrasah oleh Departemen Pendidikan Nasional, tetapi lenih pada
pengakuan yang lebih mantap bahwa madrasah adalah bagian dari sistem pendidikan
nasional walaupun pengelolaannya dilimpahkan kepada departemen Agama(UU
sisdiknas, pasal 50).[35]
PMA No.90 Tahun 2013 menyatakan bahwa penyelenggaraan pendidikan
Madrasah adalah kegiatan pelaksanaan komponen sistem pendidikan pada raudhatul
Athfal, masdrasah ibtidaiyah, Madrasah tsanawiyah, Madrasah Aliyah, Dan
Madrasah Aliyah Kejuruan agar proses pendidikan dapat berlangsung sesuai dengan
tujuan pendidikan nasional. Dan pendirian madrasah yang dilakukan oleh
pemerintah wajib memenuhi standar nasional pendidikan.[36]
E.
Kesimpulan.
1. Tap MPR No II/MPRS/1966 secara tegas telah menetapkan pendidikan
Agama sebagai mata pelajaran di Sekolah dasar sampai perguruan tinggi. PMA
No.16 tahun 2010 Pasal 3 ayat 1 berbunyi setiap sekolah wajib menyelenggarakan
pendidikan agama. Dan pasal 2 berbunyi setiap peserta didik berhak memperoleh
pendidikan Agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik
yang seagama.
2. UUSPN No.2 1989 dan madrasah diklasifikasikan menjadi pendidikan
umum berciri khas Islam. Pada UU sisdiknas 2003 pendidikan keagamaan berdiri
sendiri menjadi salah satu jenis pendidikan yang kemudian diakui negara
sedrajat dengan jenis pendidikan madrasah dan sekolah
keputusan bersama Tiga Mentri : Menteri Agama, Menteri Pendidikan
dan kebudayaan, mentri dalam negeri. No. 6 Tahun 1975, No.037/U/1975, dan No.
36 Tahun 1975. Serta UU No. 2 Tahun 1989
kedudukan lembaga pendidikan agama diperkukuh( Pasal 11 ayat 16). SKB tiga
menteri tersebut bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan pada madrasah
agar tingkat pelajaran umum dari madrasah mencapai tingkat yang sama dengan
tingkat mata pelajaran umum disekolah umum yg setingkat, sehingga : ijazah
madrasah sama dengan ijazah sekolah umum, lulusan madrasah dapat melanjutkan
disekolah umum, siswa madrasah dapat berpindah disekolah umum.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Faisal
Jusuf. Reorientasi Pendidikan Islam. Jakarta: Gema Insani Press, 1995.
Arifin,
Muzayyin. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
Assegaf, Abdur
Rahman. Pendidikan Islam di Indonesia. Yogyakarta : Suka press, 2007.
Bakar, Usman
Abu. Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam. Yogyakarta : Maguwoharjo,
2005.
Daulay, Putra Haidar, Sejarah
Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2007.
Fathoni Kholid.
Pendidikan Islam dan pendidikan Nasional. Jakarta : Depag RI, 2005.
Gunawan, Ary H.
Kebijakan-Kebijakan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: Bina Aksara, 1986.
Haedari, Amin. Pendidikan
Agama di Indonesia. Jakarta : Puslitbang Pendidikan Agama RI, 2010.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan
Islam di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001.
Suhartini,
Andewi, Sejarah pendidikan Islam, Jakarta: Depag RI, 2009.
Syukur, Fatah, Sejarah Pendidikan
Indonesia. Jakarta : Pustaka Rizki Putra, 2012.
Tilaar HAR. Kebijakan
Pendidikan. Yogyakarta : Pustaka pelajar, 2009.
Wahab, Rochidin. Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung : Alfabeta, 2004.
http://pendis.kemenag.go.id
http://e-dokumen.kemenag.go.id
http://akhmadsudrajat.files.wordpress.com
Mulyasa, Pengembangan
Implementasi Kurikulum 2013. Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2013.
Fattah, Nanang,
Analisis Kebijakan Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013.
Riau.Kemenag.go.id
[1] H.A.R Tilaar, Kebijakan
pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009), hal. 264
[2]UUD’ RI 1945
[3] Zuhairini, Sejarah
Pendidikan Islam, (Jakarta : Direktorat Jendral Pendidikan Kelembagaan
Agama Islam, 1986), hal.237.
[4] Muhammad
Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional, ( Jakarta
: DEPAG RI, 2005), hal.112-113.
[5] UU No.20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 1
[6] UU No.55 tahun
2007 tentang Pendidikan Agama dan pendidikan keagamaan. Pasal 1 ayat 1.
[7] Abdur Rahman
Asegaf, pendidikan Islam di Indoonesia, ( Yogyakarta : Suka Press,
2007), hal.134.
[8] Andewi
Suhartini, Sejarah Pendidikan Islam, ( Jakarta : Depag RI, 2009), hal.
191.
[10] Amin Haedari, Pendidikan
Agama di Indonesia, ( Jakarta : Badan litbang dan diklat Kementrian Agama
RI, 2010 ), hal. v.
[11] Andewi
Suhartini, Sejarah Pendidikan Islam…, hal.195
[12] Ibid,.Hal.196
[14] Amin Haedari,
Pendidikan Agama di Indonesia…, hal.ix.
[15] PMA No.16 Tahun
2010 pasal , ayat 1.
[17] Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2001),
hal.18.
[18] Muzayyin
Arifin, Kapita Selekta pendidikan Islam, ( Jakarta : Bumi Aksara, 2003
), hal.226.
[19] Muzayyin
Arifin, Kapita Selekta pendidikan Islam…, hal.226.
[20] Haidar Putra
daulay, Sejarah Pertumbuhan dan pembaruan pendidikan di Indonesia,
(Jakarta: Kencana prenada group, 2007),
hal.164.
[21] Abdur Rahman
Asegaf, pendidikan Islam di Indoonesia…, hal. 91
[23] Muhammad
Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional…, hal.6.
[24] Hanun,
Asroha, Sejarah pendidikan Islam,
( Jakarta : LOGOS wacana ilmu, 1999),
[27] Abdur Rahman
Asegaf, pendidikan Islam di Indoonesia…, hal.92.
[28] Muzayyin
Arifin, Kapita Selekta pendidikan Islam…, hal.220-221.
[29] Fatah Syukur,.
Sejarah Pendidikan Islam( Semarang : Pustaka Rizki Putra, 2012), hal.
150-151
[31] Muzayyin
Arifin, Kapita Selekta pendidikan Islam…, hal.221.
[32] Ibid., hal
222-223.
[33] Muhammad
Kholid Fathoni, Pendidikan Islam dan Pendidikan Nasional…, hal. 65.
[34] Fatah Syukur,.
Sejarah Pendidikan Islam…, hal.160
[35]
Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar